Rabu, 09 Desember 2009

Cara, Sudut, dan Jarak Pandang. Sebuah tafsiran bebas

Hari rabu 2 Desember 2009, bertepatan dengan 14 Dzulhijjah 1430.

Cara, Sudut, dan Jarak Pandang. Sebuah tafsiran bebas
Oleh : Muh. Anang Prasetyo

PROLOG

Hari ini adalah jadwal Padhang Mbulan di Menturo Sumobito Jombang.
Sore itu aku harus berangkat dari Tuban. Bukan karena apa, hari Rabu adalah jadwal rutinku mengisi kajian bersama guru-guru PG,TK Sd IT Faaz Tuban. Disusul mengisi kajian di Pegawai Indosat Tuban. Selesai jam 17.30 WIB. Karena selesai jam tersebut, tentu saja rombongan teman-teman maiyah Tuban sudah berangkat. Akhirnya aku naik bis, dengan “keajaiban” yang Alloh berikan, tapi aku tidak perlu menyampaikan “keajaiban” ini takut tidak diberi lagi oleh-Nya. Intinya adalah jalan untuk mencari ilmu itu benar-benar dilempangkan oleh Alloh. Itu saja. Tidak perlu saya bumbui dengan cerita-cerita mengagumkan dan mengherankan.

Mengingat Cak Nun malam itu harus membatasi waktu, karena menjadi wakil putrinya pakdhe Nuri yang mantenan di Jogya. Maka malam itu adalah malam yang cekak aos. Rebat cekap. Terbukti tidak sampai jam 12 malam sudah selesai. Tapi bagi saya menjadi ‘kalamul jawamik’. Sebuah kalimat yang lengkap utuh dan terpadu.
Itu dimulai ketika Cak Nun menawarkan dialogis ironis (ini bahasa saya) bahwa jamaah maiyah tidak dibutuhkan oleh Indonesia. Oleh karena tidak dibutuhkan, maka JM pun tidak risau. Biasa dan datar saja. Tetapi, minimal di wilayah personal, keluarga, komunitas di setiap tempat, tawaran maiyah harus terformulasi dalam kemanfaatan, kemaslahatan, kedamaian, jalan keluar, sekaligus menjadi Perahu Nuh.

Hal ini (baca : ketidakbutuhan Indonesia terhadap tawaran Maiyah) merupakan kepekakan (ingat, jika kata dasarnya peka, maka dibaca ke-peka-an, tapi jika dibaca dengan kata dasar pekak,maka dibaca ke-pekak-an. Pekak dalam bahasa jawa berarti budheg. Jika diindonesiakan berarti tuli. Jika di arabkan Al Budhegku wal tuliyu. Maaf belum sempat dicari di kamus Arab.

Namun karena konteks yang akan dipakai dalam term tulisan ini adalah pandangan. Maka jargon yang saya pilih adalah Kepicekkan. Picek jika dibahasa Jawa-kan adalah buta. Blind bahasa Inggrisnya. Al Picekku bahasa Arabnya, weh...?!!

Itu berarti bangsa Indonesia, kasar dan kosronya berbahasa, adalah picek, buta terhadap fenomena. Buta terhadap problema yang sedang menggerogoti bangsa ini. Picek terhadap noumena yang terus terjadi atas bangsa ini. Tidak tahu terhadap dilema akut berbangsa. Apalagi aksioma yang timbul dari berbagai tindakan dan perilaku para pemimpin negeri, buta, benar-benar buta. Apalagi norma. Jauh, jauh dan tidak tahu apa norma yang kasat mata ditampakkan elit pemimpin kita.

Maka, ada yang saya catat dan saya cermati cukup serius ketika CN memaparkan bahwa ketidakmauan tersebut bermula dari cara pandang yang tidak pas, juga sudut pandang yang tidak tepat, serta jarak pandang. Itu semua menjadi akar problema akut yang diidap sebuah bangsa bernama Indonesia.

Maka marilah mengikuti ‘tafsiran’ (ehemm, mau misuhi diri dengan jangkrik kog gak pas, minimal ‘astaghfirulloh’ saja. Ya cukup melegakan agar kepala ini tidak mlembung). Sekali lagi, jika ini bukan tafsiran , namun inilah buah cinta saya terhadap tawaran ilmu dari Cak Nun tentang Cara, Sudut dan Jarak Pandang yang dilontarkan Cak Nun malam itu. Jika benar, Subhanalloh semua datang dari Ilmu yang Alloh ilhamkan dalam otak saya. Jika salah dan tidak tepat ,astaghfirulloh, itu murni karena kedangkalan cara, sudut dan jarak pandang saya terhadap tiga kata yang cukup merisaukan hati dan pikiran saya tersebut. Ya, murni karena kebodohan akut saya sebagai manusia. Maka tolong dimaafkan.

DIALOG

Dalam menghadapi sebuah fenomena,problema,noumena,aksioma,dilema,bahkan norma serta ma ma yang lain. Setidaknya ada tiga landasan yang harus digunakan dalam mensikapi, menganalisis, serta mengambil tindakan dan pilihan. pertama, yaitu cara pandang. kedua sudut pandang, dan ketiga adalah jarak pandang.

di dunia perkampusan akademis, senyatanya kita paling banter diajarkan hanya dua pandangan. Yakni cara dan sudut pandang. Cara pandang adalah bagaimana anda memandang terhadap sesuatu. atau logika ilmiah serta empirisme mana yang anda pilih dan tentukan. Metodologi apa yang digunakan untuk menangkap sebuah fakta empirik yang nampak mata.

jika anda pada titik ini (baca cara pandang) , berupa logika empiris dan metodologi penelitianya yang sudah salah, maka dipastikan langkah lanjutan yang anda ambil akan salah. Sederhananya rumusnya salah, hasilnya pasti salah , dus aplikasinya juga pasti salah. ‘cara’ dalam konteks ini lebih mengarah kepada teknik, strategik, metodologik. Teknik atau cara yang digunakan untuk melihat sesuatu, umpamanya penanganan kasus Bank Century, sangat boleh jadi salah maka yang terjadi hasilnya sekarang menuai kesalahan berlipat.

Dalam ranah ‘cara’ ini teknik dan metodik bisa direkayasa. Pendekatan kwantitatif atau kualitatif, semuanya berpeluang untuk dicurangi. Apalagi dengan kuantitatif yang dimainkan dengan asumsi asumsi. Inilah bom tersembunyi dan muslihat iblis dalam masalah ‘cara’ pandang.

yang kedua , sudut pandang, lebih menitik beratkan angle atau pilihan dari arah mana yang anda tentukan. ‘sudut’ pandang ini terpadu antara kognisi dan afeksi . ada wilayah teknis dan metodologis yang berpadu dengan sikap personal dan pribadi. Pada tataran ini ada wilayah emosional psikologis yang berperan.

Sederhananya begini, jika anda melihat sesuatu dengan aturan yang telah anda tentukan, itulah wilayah sudut pandang. Kognisi anda berperan. Namun ketika anda melihat dengan interst tertentu terhadap sesuatu tadi, maka maka anda akan mendapati sebagaimana yang anda inginkan.

Problematikanya adalah, jika sepersekian derajat sudut pandang diubah , maka hasilnya juga berbeda. Jika sudut pandang anda terhadap fenomena, noumena,problema,aksioma, dilema dan norma menggunakan sudut yang telah direkayasa sedemikian rupa, plus dengan interest pribadi anda, maka hasil yang anda peroleh kurang dan lebih persis sebagaimana yang anda inginkan. Apalagi jika sudut pandang anda persempit maka hasilnya menjadi sempit.

sebaliknya jika sudut pandang yang anda gunakan memutar, menggunakan daya jelajah holistik, merekam dengan berbagai sudut pandang , maka anda akan menemukan daya analitis yang tajam. karena sudut pandang yang digunakan dari berbagai sudut. keluasan wawasan, keluasan mental, dan keagungan tindakan menjadi bukti nyata.

Adapun jarak pandang. sejauh yang bisa saya maknai adalah, pengambilan sebuah "jeda antara" untuk mengambil sebuah sikap dan tindakan. ini adalah fase perenungan, masa perendaman sebuah fenomena,problema,noumena,aksioma,dilema,bahkan norma. ini yang membedakan dengan dua langkah sebelumnya. "jarak pandang" menjadi sebuah maqom illiyin seseorang. siapapun dia, entah artis, seniman, politisi, presiden, tukang jamu dan lain sebagainya.

"jarak pandang" menjadi sebuah pembeda yang khas dengan kebanyakan orang, yang awamnya terjebak pada cara pandang yang salah. meningkat diatasnya sudut pandang yang salah. orang yang mampu mencapai tingkatan jarak pandang ini, adalah orang yang tidask saja paham keilmuan cara dan sudut pandang. karena ia telah mengejawantah dalam dirinya. ia misalnya, tidak mudah memvonis seseorang yang berbeda cara pandang dengan dirinya. ia bahkan mampu mengungkapkan bahwa cara sekaligus sudut pandangnya tidak tepat.

EPILOG

"jarak pandang" adalah sebuah kewaskitaan. ia ibarat jiwa yang telah luruh dalam gemuruh ilahiyah. tahu betul sangkan paraning dumadi dari sebuah fenomena,problema,noumena,aksioma,dilema,bahkan norma. wilayah inilah yang musti kita dapatkan dalam menjalani hidup dan kehidupan. wallohu'alam.(Refleksi PB 2 Desember 2009/14 Dzulhijjah 1430)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar