EPISTEMOLOGI MAIYAH PADHANG MBULAN
Oleh Muhammad Anang Prasetyo
Jika kita cermati, dan benar-benar mengilmui secara utuh, sesungguhnya, di dunia ini tidak ada yang tercerai berai ataupun terpisah. Pada hakekat intinya , kenyataan yang dihadapi manusia adalah uniform, integrated, satu kesatuan, wungkul, istilah ilmunya adalah tauhid. Esa dan menyatu. Sehingga kita mengenal istilah Split personality bidang psikologi, ataupun sekular dalam bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dalam koridor pemisahan timur dan barat sekalipun. Bukankah ia hanya menjadi penanda administrative semata. Jika seseorang menuju ke barat ia akan menemukan timur, demikian sebaliknya.
Maka, upaya memisahkan antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa pendekatan ilmiyah sekalipun, sebenarnya menempatkan seseorang dijurang kematiannya sendiri. Pemisahan-pemisahan antara tekstua dan kontekstual, yang kasat mata dengan yang bisa diindera, antara kholiq dengan makhluq, antara dunia dengan akhirat, antara jasmani dan rohani. Antara etika dan etika. Antara ilmu khusus dan ilmu umum. Antara ilmu ghoib dan ilmu batin. Antara ilmu inderawi / ilmu aqli dengan ilmu naqli / khobari. Antara hati dan fikiran, antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, antara masyarakat bawah dengan masyarakat atas, antara politik dan agama, dan sekian banyak upaya-upaya pemisahan secara hirarkis struktural dengan politik negara sebagai panglimanya, maka upaya-upaya ini akan menelan kepiluan dan kerendahan harga kemanusiaan.
Upaya-upaya pemisahan diatas tidak saja merupakan dekontruksi dan reduksi atas kemanusiaan itu sendiri, namun lebih lanjut merupakan pengingkaran atas terciptanya tata auran mikrokosmos dan makrokosmos alam semesta ciptaan Tuhan. Bukan kah Tuhan pula yang telah mendesain dengan amat sempurna semua penciptaan alam semesta ini. Semangat utamanya adalah kesatuan (unity), keseimbangan, tawazun, menyeluruh dan terintegrasi satu sama lain. Inilah sejatinya keseimbangan sentral peradaban manusia.
Membaca, menelaah, mengilmui, mengalami dan menjalankan ilmu di Padhang Mbulan, yang rutin digelar tiap bulan purnama dalam penanggalan qomariyah, sesungguhnya adalah melihat kesatuan dan keseimbangan yang dimaksud diatas. Tanpa berlebihan kita mendudukkan di setiap porsinya. Bahwa dengan awalan kajian ilmu tafsir oleh Cak Fuad, yang boleh dibilang ayat Qouliyah nya (tekstual Al quran) dengan tafsir bebas atas teks, bermuatan kontekstual oleh cak Nun , yang boleh dibilang ayat Kauniyahnya, maka didalamnya terdapat satu kesatuan, terintegrasi,tauhidi, unity form, atau apapun istilahnya.
Seolah keduanya menjadi pokok sumber ilmu vertikal dan horizontal, posisinya menjadi sebagai penghubung antara realitas wahyu dan realitas sosial, atau dalam istilah pendukung posmo,”teks wahyu” dan “teks sosial”. Terlebih Cak Fuad lebih sering menyampaikan kaiannya tentang hal aktual yang sedang terjadi di masyarakat. Dalam konteks ini tafsir demikian dinamakan tafsir tematik (maudhu’i). Adapun Cak Nun lebih mengelaborasi teks yang disampaikan cak Fuad dengan ragam pendekatan, baik sosial,seni, budaya, pendidikan, politik, ketatanegaraan dan lain sebagainya, terlebih kehadiran Sabrang (Noe) dengan pendekatan sains empirisnya belakangan, lebih ‘mengutuhkan’ ilmu yang diperoleh jamaah.
Tafsir kontemporer Al Quran, dengan metode tematik (maudhu’i) memang menjadi kebutuhan mendesak manusia modern saat ini. Dengan ingatan manusia modern yang cenderung short term memory, atau mungkin kadang malah lost term memory, maka ketika suatu hal krusial suatu fenomena pada manusia terjadi (konteks) kemudian dibahas, dikaji, dengan mendekatkan pemahaman manusia atas fenomena yang dialami tersebut dengan Al Quran (teks), maka dari pemahaman tersebut , pijakan atas landasan ilmu yang diterimanya menjadi penopang dalam menjalani kehidupan.
Sehingga, tidak berlebihan kiranya , upaya belasan tahun yang dilakukan di padhang Mbulan Jombang, dengan Cak Fuad dan Cak Nun sebagai dosen, guru, guru besar, mentor, orang tua, dan sahabat sekaligus, dalam merespon setiap gejala , fenomena, maupun noumena kehidupan manusia, sesungguhnya menempatkan diri, tidak lagi dalam wilayah fakultas kehidupan, namun lebih merupakan Universitas Kehidupan itu sendiri. Fakultas, faculty/ fakultatif lebih cenderung terkotak-kotak dalam sekat-sekat keilmuan. Namun universitas (kulliyyah jamiah), universal lebih mendekatkan kepada pemahaman utuh dan mensejagat.
Konstruk ilmu Padhang Mbulan
Jikalah disepakati bahwa membangun suatu peradaban manusia Indonesia, dalam sejarahnya bangun dan tegaknya berbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Indonesia Nusantara yang nyaris lumpuh ini, adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. karena ilmu, dalam pemahaman Islam , adalah prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat,dan dunia akhirat sekaligus. Maka pemahaman atas ilmu itu sendiri musti dan waib dikaji oleh manusia. Sebuah ilmu yang sejati, sejatining ilmu yang bisa mendekatkan diri kepada tuhannya dan memberikan kemanfaatan seluasnya bagi manusia dan kemanusiaan..
Maka sudah tepat, on the right, bahwasannya Padhang Mbulan menentukan istilah Majelis Ilmu sebagai karakter dan watak dasar pergerakannya. Selain karena Kanjeng Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu waib (fariidhoh) bagi setiap muslim, juga ‘Guru’nya Kanjeng Nabi,yakni Alloh taala, mengarahkan view orang muslim bahwa orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya beberapa derajat. Walladzi na uutul ilma darojat.
Maka membicarakan suatu ilmu, dalam pemahaman keilmuan Islam, senyatanya terdapat keterpaduan antara akal, intuisi dan wahyu. Yakni lebih berbicara mengenai ilmu dan nilai atau amal yang baik bagi memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani/materi. Dan justru itu, kata Rosnani Hashim (2005), dalam Islam (tradisonal) telah terpadu pada tahap ontology, epistemology dan aksiologi. Ketiga ranah tersebut terakhir, merupakan komponen filsafat ilmu ‘barat’. Karena pokok bahasan lebih mengarah kepada konstruksi ilmu, maka fokus utamanya adalah ranah epistemologi.
Epistemologi, biasanya diterjemahkan sebagai teori tentang ilmu,
Ismail Raji Al Faruqi, salah seorang cendekiawan muslim, menggariskan beberapa prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah :
1. Keesaan Alloh
2. Kesatuan Penciptaan
3. Kesatuan Kebenaran
4. Kesatuan Ilmu
5. Kesatuan Kehidupan
6. Kesatuan Kemanusiaan
Al Attas mendukung metode tawhidi dimana terdapat kesatuan dalam kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif.
bersambung...
Sumber bacaan
1. Majalah Islamiya thn II No 5 april-juni, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar